Nelayanku, Penghidupanku
Pak
castim, nama seorang nelayan yang kutemui saat libur kenaikan kelas lalu. Iya
menetap di Kampung Muara Ciparage, Desa Ciparagejaya, Karawang. Saat ini
umurnya 31 tahun, sejak berusia 10 tahun sudah mengikuti jejak nenek moyangnya
sebagai seorang pelaut.
Hidup menjadi pelaut atau
nelayan, merupakan kegiatan setiap hari. Karena bapaknya juga nelayan yang
setiap hari mengarungi samudera, menerjang ombak, menempuh badai, demi
menafkahi keluarganya serta masa depan anak-anaknya.
Setiap hari Castim bersama enam awak perahu berangkat dari
kampungnya jam 3 dinihari ke tengah laut dan kembali ke Muara Ciparage tempat
perahu motornya disandarkan pukul enam pagi. Bila cuaca jelek, pada malam hari
dia memberitahu awak perahu untuk tidak menangkap ikan.
Nelayan yang mengaku tidak tamat sekolah dasar ini mengaku,
penghasilannya tidak tetap. Tapi dia tak ingin beralih profesi mencari
pekerjaan lain.
“Saya
dari kelas dua SD sering ikut bapak melaut yang sejak dulu menjadi nelayan
disini” kata Castim, nelayan Kampung Muara Ciparage yang tengah sandar perahu
di tempat pelelangan ikan (TPI).
Ikan hasil tangkapan berupa ikan teri kecil yang nyangkut
dijaringnya sejak diterba di tengah laut malam hari sampai pagi hari itu, hanya
mendapatkan uang RP 600 ribu.
Kemudian uang itu dibagikan kepada enam awak perahu motor
(nelayan pekerja), dengan kesepakatan pembagian empat persen dan enam persen. Sebanyak
empat persen untuk juragan pemilik perahu motor dan enam persen untuk awak
perahu.
Bila duhitung-hitung, Castim
yang hanya menjadi nelayan mendapatkan bagian hasil hanya 150 ribu. Jadi bila Castim
mengeluarkan biaya untuk melaut, yaitu beli solar dan makanan untuk persiapan
melaut 150ribu, jadi Castim tidak mendapatkan penghasilan.
Besarnya mendapatkan penghasilan melaut, tentunya tidak
tetap. Kadang mendapatkan banyak ikan hasil tangkapan, bahkan hanya mendapatkan
sedikit ikan yang terjaring. Apalagi pada saat cuaca buruk. Lebih baik kembali
ke daratan daripada diteruskan mencari ikan di tengah laut yang tentunya
membahayakan keselamatan jiwa maupun perahu motor yang hanya satu-satunya
dimiliki Castim.
Castim mengatakan, dia akan
mendapatkan banyak penghasilan apabila dapat menjaring ikan tenggiri, karena
bisa laku 1 ekor besarnya 5 kilo dibeli 250rb, begitu juga udang bisa laku 120
rb per kilo.
“Perahu
motor berikut alat penangkapan ikan yang dimilikinya saat ini, dibeli seharga
10 juta. Uang yang dibelikan perahu bekas tersebut, pemberian dari Esti, sang
istri yang saya dinikahi enam tahun lalu” ujar Castim.
Dia sekarang bekerja menjadi TKW
di Arab Saudi, berangkatnya setelah melahirkan anak keduanya yang sekarang
berumur 1,5 tahun sedang anak pertamanya berusia lima tahun.
Castim, ketika ditanyakan bahwa
di wilayah tetangga desanya akan dibangun mega proyek pelabuhan peti kemas yang
lokasinya di sekitar desanya, ternyata dia tak berminat menjadi pekerja atau buruh dipelabuhan
tersebut.
Karena dia menyadari, ia tidak
memiliki ijazah SD pun tidak tamat, lebih baik tetap jadi nelayan saja, ujar Castim,
yang sejak kecil selalu ikut melaut dengan ayahnya. Keseharian hidup Castim ia
jalani dengan ikhlas meskipun dengan penghasilan yang tidak menentu, terkadang
Castim dan anak-anaknya tidak bisa makan 3x sehari karena biaya yang tidak
cukup. Penerangan pun tidak ada dirumahnya. Mengurus kedua anak memang bukan
hal yang mudah, karena Castim sendiri harus melaut berjam-jam, akan tetapi kedua
anak Castim ikut mengerti dan berusaha mandiri meskipun hidup jauh dari sang
ibu. Namun penderitaan dan kehidupan sehari-hari dijalani dengan hati ikhlas
dan berserah diri kepada Tuhan karena dia yakin, Tuhan tidak akan memberikan
ujian dan masalah melebihi dari kemampuannya.
Castim hidup dengan prinsip
pantang menyerah. Dia akan tetap menjadi nelayan melanjutkan perkerjaan warisan
turun-menurun dari kakek dan ayahnya.
Leave a Comment