Two Mothers

“Bunda!! Clara gak mau hadiah ulang tahunnya tas. Clara maunya IPhone baru. Bun, beliin IPhone baru, ya. Please…”, pinta Clara tanpa mempedulikan hadiah yang barusan bunda kasih. Ia hanya membuka sedikit bungkusan kadonya, lalu menyisihkannya karena bukan hadiah itu yang diharapkannya.
Ku lihat Bunda tersenyum, senyuman lembut yang ramah. Ia membelai kepala Clara kemudian berkata, “Sayang, sebulan lalu Clara baru saja ganti IPhone baru, masa mau ganti lagi, sih? Makanya Bunda kasih hadiah tas sebagai hadiah ulang tahun kamu. Kamu gak suka? Tasnya warna biru, warna kesukaan kamu, lho.”
“Tapi, kan, Bun, walaupun Clara baru ganti IPhone bulan lalu, bulan ini kan udah ada keluaran baru. Clara gak mau jadi orang kuno, jadi harus selalu up to date, Bun. Please, Bunda… Tasnya buat kakak aja, Clara gak mau itu.”
Bunda terdiam sejenak. Aku tahu apa yang dirasakannya. Ia pasti mulai lelah dengan segala permintaan Clara yang terlalu banyak, tak pernah puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Sekali lagi ia mencoba menasihatinya, “Sayang, kita gak boleh boros, kalau tiap bulan mau ganti IPhone itu udah keterlaluan. Lagian tas kamu kan udah lama gak ganti, jadi…”
“Bunda! Pokoknya aku mau IPhone! Aku gak suka dan gak mau tas ini.”, katanya menyela sambil melempar tas yang masih setengah terbungkus ke pojok ruangan lalu melanjutkan, “Bunda itu lebih sayang sama uang dari pada putrinya sendiri. Apa sih ruginya mengeluarkan sepeser rupiah untuk kebahagiaan putri sendiri? Bunda jahat! Lebih baik nanti aku minta Ayah aja, Ayah pasti kasih.” Ia berlalu meninggalkan kami berdua di sini menuju kamarnya.
“Clara!!”
Braaakk!!


Suara bantingan pintunya itu memecahkan kesunyian yang sejenak menyelubungi rumah ini. Rumah yang masih terasa asing bagiku. Kulihat ke arah wanita yang kini kupanggil bunda itu. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa sambil memijit-mijit kecil dahinya. Aku beralih duduk ke sebelahnya, memeluknya dan berkata, “Bunda! Bunda jangan sedih, ya, sama tingkah Clara barusan. Dia hanya belum mengerti. Biar Lily, eh, maksudku, biar Olivia aja yang bicara ke Clara, ya, Bun…”
Ia kembali tersenyum dan kini membelai kepalaku. Belaian hangat yang mampu menciptakan kehangatan di hatiku. Seharusnya Clara bisa merasakan kehangatannya ini jika ia melihat sedikit lebih luas, ia pasti sadar pada apa yang sebenarnya jauh lebih berharga dibandingkan seluruh harta di dunia.
“Olive lebih nyaman dipanggil dengan nama Lily, ya? Kalau memang iya, Bunda gak keberatan kok manggil kamu Lily.”
“Ah, gak apa-apa, kok, Bun. Mungkin aku hanya belum terbiasa dengan nama Olivia. Itu, kan, nama yang Bunda dan Ayah kasih ketika aku lahir, nama yang indah, jadi kenapa harus aku ganti.”
“Baiklah… Bunda hanya ingin kamu merasa nyaman, sayang. Entah itu Lily ataupun Olivia, kamu tetap putri Bunda yang berharga.”
“Bunda?”
“Ya, sayang?”
“Bunda, terima kasih karena telah kembali, terima kasih karena Bunda mengatakan Olive adalah putri Bunda yang berharga, terima kasih untuk setiap cinta yang Bunda kasih ke Olive. Walaupun aku tidak merasakannya selama 17 tahun terakhir ini, tapi aku yakin, tak pernah satu detik pun Bunda berhenti mencintaiku. Terima kasih Bunda, Olive cinta Bunda!”
“Ya, sayang. Bunda juga cinta sama Olive.”, kata Bunda sambil mempererat pelukannya.
“Bunda! Bunda tenang aja, ya. Biar Olive yang bicara ke Clara.”, kataku kemudian ke Bunda setelah beberapa saat merasakan kenyamanan pelukannya.
“Ya!”
###
Ruangan itu didominasi oleh warna  soft blue. Sesungguhnya terlalu besar untuk disebut kamar. Bagaimana tidak, di dalamnya ada large bed, TV LED, dua buah rak buku yang besar, sebuah rak tinggi yang ramping dan dipenuhi oleh sepatu dan tas, sebuah meja belajar yang cantik, sebuah lemari yang dipenuhi oleh piala dan piagam, bahkan di dalamnya ada kamar kecil yang khusus untuk tempat pakaian dan aksesoris.
Mataku tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk di sebuah sofa yang berhadapan dengan balkon di ujung ruangan itu sambil mengotak-atik laptopnya. Masih terlihat olehku raut kesal yang tergambar di wajahnya. Aku pun melangkah menghampirinya.
“Clara? Wah..! Laptopmu keren banget! Wah!!”
“Apaan sih kak?”
“Clara, jangan cemberut dong. Kamu tahu gak?  Kalau cemberut nanti…”
“Nanti apa?”
“Kalau sekali cemberut nanti bisa membuat garis-garis kerutan dan keriput muncul satu tahun lebih cepat dari semestinya. Bayangkan! Gimana jadinya kalau dua kali? Empat kali? Kalau cemberut seharian? Wah, gak cantik baget!!”
“Serius, kak?”, tanyanya setengah panik sambil meraba-raba wajahnya, mengecek apakah ada kerutan yang muncul di wajah halusnya itu.
“Hm, serius gak, ya? Sebenarnya, itu sih masih hipotesaku aja”, jawabku sambil tersenyum.
“Ih, kakak ini nyebelin lah.”, katanya kembali merajuk.
“Clara?”
“Apa?”
“Kita kan saudara kandung, tapi kita gak tumbuh bersama sejak kecil. Kemarin Clara udah ceritain tentang masa kecilnya ke kakak, jadi sekarang mau gak dengarin kisah kakak?”
“Ah, besoklah, kak! Lagi gak mood, nih!”
“Begini ceritanya…”, kataku tanpa menghiraukan penolakannya barusan.
Aku dilahirkan dengan nama Olivia Gabriella, namun aku dibesarkan dengan nama Lily Jocelyn. Aku baru tahu nama asliku belum lama ini. Jadi terkadang masih terasa asing bagiku.
Mamaku hanya seorang petugas kebersihan di sebuah mall ternama di kotaku. Ya, walaupun itu mall besar, gajinya tidak seberapa, hanya dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolahku. Bahkan terkadang untuk makanpun kurang, apalagi jika ada pengeluaran tak terduga.
Sementara Bapakku, beliau telah meninggal ketika aku masih berusia enam tahun. Masih teringat dengan jelas di memoriku bagaimana ia meninggal. Ya, sangat jelas, karena aku melihatnya sendiri di depan mataku.
Waktu itu adalah hari pertama aku masuk sekolah dasar. Ia izin dari tempatnya bekerja hanya demi mengantarku pergi ke sekolah di hari pertama. Ketika sedang menyebrang jalan, topi sekolahku terbang tertiup angin dan jatuh di tengah jalan. Bukan jalan raya besar yang ada lampu merah dan jalur penyeberangan khususnya. Ia setengah berlari sambil melihat kiri kanan dan mengambil topiku. Ketika didapatkannya, ia melambai kearahku sambil tersenyum.
Aku masih ingat dengan kalimat terakhirnya. “Lily! Bapak dapat topinya, ayo ke sekolah sama-sama.”
Namun akhirnya aku tak pernah ke sekolah bersama bapakku. Ia meninggal seketika karena ditabrak oleh sebuah truk pengangkut barang yang kala itu tengah melaju kencang. Semenjak saat itu, aku gak suka pakai topi, itu hanya akan mengingatkanku tentang bagaimana bapakku meninggal.
Mamaku, ia adalah seorang pejuang dalam hidupku. Semenjak kepergian bapak, ia banting tulang demi menghidupiku. Semenjak saat itu juga, sikapnya ikut berubah. Kata-kata lembut dan sikapnya yang hangat dan ramah berlalu tanpa jejak. Ia menjadi super protektif dan menjadi sangat tegas terhadap setiap apa yang kulakukan. Bahkan ia sering bersikap dingin kepadaku. Karena perubahannya itu, aku merasa mama yang kukenal yang selama ini merawatku dengan penuh kasih sayang ikut pergi bersama bapakku. Diri kecilku merasa kehilangan. Namun, walaupun ia berubah menjadi monster sekalipun, aku tak bisa membencinya, tidak walau sedetik. Karena kutahu, ia mamaku.
Ia memukulku dan memarahiku habis-habisan karena bermain hujan ketika ia belum pulang kerja. Namun ketika malamnya aku demam, aku tahu kalau ia benar-benar khawatir, ia tidur di kamarku dan menemaniku sepanjang malam.
Semenjak saat itu, aku sadar bahwa mama yang sekarang masih sama dengan mama yang dulu, penuh perhatian terhadapku. Ia hanya tak ingin aku melihatnya lemah tanpa kehadiran bapak di tengah-tengah kami. Dengan begitu aku pun dapat tumbuh menjadi anak yang kuat dan mandiri. Karena hidup memang menuntut kami demikian.
Seiring dengan jalannya waktu, ketika masa remaja mulai menghampiriku, aku mulai malu dengan hidupku yang miskin dan serba susah, aku pun berusaha menyembunyikannya dari dunia. Terkadang aku merasa Tuhan tak adil, disaat gadis lain bisa membeli gaun baru, aku bahkan tak punya sehelai gaun. Aku tak pernah dapat kado ulang tahun. Tak pernah bisa ikut wisata sekolah. Semuanya karena alasan yang sama, uang. Jika saja kami punya cukup uang, mungkin aku bisa merasakan nikmatnya daging ayam lebih sering, tak hanya di hari ulang tahunku saja.
Bahkan mama pun tak pernah merayakan ulang tahunnya, setiap kali kuajak ia hanya akan menjawab, “Lily! Kita bahkan tidak punya cukup uang untuk membayar uang kontrakan rumah dan kamu ingin merayakan ulang tahun? Pakai otakmu itu, biar gak sia-sia mama menyekolahkanmu susah payah.” Aku hanya membalas perkataan itu dengan keheningan.
Suatu hari, aku menemukan sebuah map coklat yang ditujukan untuk mama yang dimasukkan melalui celah bawah pintu rumah. Waktu itu mama belum pulang kerja, jadi kubuka map yang tak tertera nama dan alamat pengirimnya itu.
Map itu berisi berkas-berkas yang membicarakan tentang ibu kandungku dan secara tidak langsung menyatakan bahwa aku bukanlah anak mama. Awalnya aku tak terima dengan apa yang dikatakan berkas yang tak jelas sumbernya itu, namun setelah kubaca profile orang yang disebutkan sebagai ibu kandungku itu, keegoisan dan hasrat duniawi menguasai hati dan pikiranku.
Sophia Nora, Dokter Spesialis Kanker di Ashwald Hospital, isteri dari David Sebastian, CEO of Orholt Corporation, putri tunggal dari Adam Harrison, pemilik Harrison Furniture.
”Nyatakah ini? Jika benar orang ini adalah ibu kandungku, bukankah hidupku akan berubah? Aku bisa hidup nyaman, punya pakaian bagus, bisa ikut wisata sekolah, gak perlu mikirin susah-susah mau makan apa, aku bisa beli semua yang kumau.”, itulah yang terlintas dalam pikiranku.
Namun, belum sempat aku menyembunyikan berkas itu, mama ternyata sudah pulang dan langsung merampasnya dari tanganku.
Kukira ia akan marah, menamparku, atau bahkan memukulku. Tapi ternyata tidak, ia hanya menyuruhku duduk dan ia mendengarkannya berbicara. Ia menceritakan bahwa dulu ketika aku masih bayi, ia menyelamatkanku dari sebuah kebakaran yang yang terjadi di sebuah rumah sakit. Semenjak hari itu, ia sudah berusaha mencari siapa orangtuaku namun hasilnya selalu nihil. Ia pun menyerah dan mengadopsiku sebagai anak. Itulah mengapa aku sekarang memanggilnya mama.
“Jadi, kenapa sekarang mama kembali mencari orangtuaku asliku?”, tanyaku penasaran.
“Karena aku sudah lelah mengurusmu. Di usiaku yang sekarang, untuk menghidupi diriku sendiri saja sudah susah, apa lagi ditambah dengan semua biaya penghidupanmu yang lebih besar dua kali lipat. Aku gak sanggup.”
Aku gak percaya dengan perkataannya itu, itu sama sekali tak terdengar seperti mama. “Mama? Mama bohong kan? Pasti bukan itu alasannya.”
“Ya, memang itu alasannya.”, katanya dengan nada dingin.
“Gak! Aku gak percaya.” Kata-kata mama itu mulai menyesakkan dadaku. “Ma, aku kenal Mama, Mama gak bisa ngebohongin aku!”
“Cukup Lily! Kamu bahkan bukan darah dagingku, bagaimana mungkin kamu bisa mengenalku dengan begitu baik, hah? Kamu mau tau? Oke, tapi jangan salahkan aku jika kebenaran itu akan menyakitimu. Alasan sebenarnya adalah agar aku bisa meminta uang dari hasil mengurusmu selama tujuh belas tahun ini ke ibumu yang kaya itu. Dengan begitu aku gak perlu ngebersihin toilet dari pagi sampai malam hanya untuk sesuap nasi, gak perlu menjual semua peninggalan suamiku hanya untuk makan dan sekolahmu, gak perlu mendengarkan keluhanmu yang tak pernah habis. Dengan begitu… tak akan ada lagi dirimu yang membebani hidupku. Kamu tahu? Aku menyesali semua yang kulakukan hari itu. Seandainya saja aku tak menyelamatkanmu dari kebakaran itu, aku gak akan kehilangan suamiku dan hidup susah seperti ini.”
Kini aku tak bisa membendung air mata yang sejak tadi sudah memenuhi mataku. Sedih, kecewa, putus asa, gak percaya, marah, semuanya bercampur jadi satu. Kata-katanya itu bagaikan tombak tajam yang langsung menembus jantungku. Tidak hanya sekali, namun menusukku hatiku berkali-kali.
“Lily! Jangan naïf! Apa kamu pikir aku akan berkata, lily mama ingin kamu bahagia jadi mama berusaha mempertemukanmu dengan orang tua kandungmu. Hal semacam itu cuma karangan manusia di film. Kenyataannya gak ada yang seperti itu. Tidurlah! Besok aku akan mengantarmu ke ibu kandungmu. Sebaiknya jangan menyusahkanku.”, katanya dan kemudian masuk ke kamarnya.
Ma? Mamakah ini? Mengapa aku tak mengenalimu dalam wajah itu?
Keesokan harinya ia benar-benar mengantarku menemui wanita yang kini kupanggil Bunda.
Clara yang sejak tadi menyimak ceritaku dengan penuh serius itu berkata dengan semangat, “Wah, happy ending, dong, kak? Bukankah itu bagus? Kakak ketemu dengan aku, ibu dan ayah, dan terlepas dari wanita jahat itu!”
“Ceritanya belum selesai, Clar…”, jawabku.
Selama pertemuan itu, Mama tak berbicara sepatah kata pun padaku. Bunda mengecek tanda lahirku dan memeriksakan DNA kami. Setelah terbukti kalau aku memang putinya yang selama ini hilang, ia memelukku dan membelaiku. Ia mengatakan betapa selama  ini ia merindukanku.
Namun entah mengapa, aku seperti tak merasa bahagia ataupun senang, tak ada perasaan apa pun. Rasanya kosong ketika melihat wajah beku Mama yang memandang kami berdua. Tak bisa kuartikan maksud ekspresinya itu.
Bunda dan Mama bicara berdua di ruangannya. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, namun setelah mereka keluar, aku melihat mama memegang sebuah amplop, aku pun teringat dengan apa yang dikatakannya semalam. Ia pun pulang bahkan tanpa memandang mataku. Aku hanya melihat punggungnya yang lambat laun menghilang di telan keramaian di rumah sakit itu.
Sudah beberapa hari semenjak aku mulai tinggal dengan Bunda, Ayah, dan adikku, Clara. Tempat tinggalku yang sekarang besar dan mewah. Aku bisa makan ayam bahkan daging sapi kapan pun aku mau. Aku dikenalkan ke keluarga besar dan diajak jalan-jalan. Aku dibelikan pakaian, sepatu, dan tas yang indah. Itu juga pertama kali aku punya ponsel sendiri. Kamarku besar, kasurnya juga empuk, sedangkan dulu aku sering sakit punggung karena tak mampu beli kasur yang layak.
Aku dipindah sekolahkan ke sekolah yang lebih bermutu dan berkualitas. Sekolahnya sungguh luas dan besar, terfasilitasi dengan lengkap dan dengan design yang WOW, tak heran biayanya sama dengan biaya penghidupanku dan mama selama dua bulan.
Tapi semuanya itu terasa hambar bagiku. Masih ada hal yang memenuhi pikiranku dan menyita hatiku. Aku merasa benar-benar harus menanyakannya langsung. Sepulang sekolah hari itu, aku pun segera menemui Bunda.
“Bunda, apa Bunda sibuk? Ada hal penting yang Olive ingin tanyakan.”
“Gak kok, sayang. Mau tanya apa?”, tanya Bunda ramah.
“Bun, apa… apa kemarin Mama meminta uang ke Bunda karena telah mengurusku selama ini?”
“Uang? Apa maksudmu? Ia tak ada membicarakan tentang uang sama sekali.”
“Benarkah?”
“Ya, untuk apa Bunda bohong? Mengapa? Apa sekarang ia sedang butuh uang?”
“Kalau memang ia tidak memintanya, amplop apa yang di kemarin dipegangnya itu?”
“Amplop? Oh, amplop itu. Itu amplop miliknya yang dikeluarkannya dari dalam tas. Bunda tak tahu apa isinya. Memangnya ada apa Olive?”
Benar, kan? Aku tahu kalau kemarin Mama bohong. Aku tahu bukan itu alasannya. Aku tahu karena aku mengenal Mama, karena aku memang anak Mama. Mama?
“Bunda, Olive pergi dulu, ya… Ada hal yang harus Olive urus.”
Setelah pamit pada Bunda, aku segera pergi ke rumah Mama diantar oleh Pak Budi, supir keluaga kami.
Aku mengetuk-ngetuk pintu rumah itu berulang-ulang, namun tak ada yang membuka. Aku tahu Mama ada di rumah karena lampu di dalam menyala.
“Ma? Mama? Ini Lily, Ma…”
“Ma, buka pintunya!!”, tak terdengar suara apa pun dari dalam.
Aku merasa khawatir. Sepertinya ada sesuatu yang tak beres. Berbagai pikiran negatif melintasi pikiranku. Aku meminta Pak Budi untuk mendobrak pintunya. Setelah pintu itu berhasil terbuka, tanpa pikir panjang aku segera masuk ke dalam. Aku tak melihat Mama di ruang tamu ataupun di dapur.
Kamar!!
Aku segera menuju ke kamar Mama. Namun ketika ku buka…
Oh, Tuhan, apa yang telah terjadi?
“Mama!!”
Aku melihat tubuh Mama yang terbaring di lantai. Tubuhnya kurus dan wajahnya pucat. Aku bisa melihat darah di telapak tangan dan mulutnya. Di atas meja kecil di sebelah Mama ada amplop yang kemarin kulihat ketika di rumah sakit. Aku memasukkannya ke dalam sakuku. Aku dan Pak Budi pun segera membawa Mama ke rumah sakit tempat Bunda bekerja, Ashwald Hospital. Aku langsung menghubungi Bunda dan memintanya segera menuju ke rumah sakit.
Aku dan Bunda sampai di rumah sakit bersamaan. Bunda terkejut melihat Mama yang pingsan. Tanpa bertanya apa yang terjadi, ia dan beberapa pegawai rumah sakit lainnya segera membawa Mama ke ruang periksa.
Sudah hampir 20 menit aku menunggu di depan ruang periksa, namun Bunda tak kunjung-kunjung keluar. Kulihat beberapa dokter lain buru-buru masuk ke ruangan itu.
Mengapa banyak sekali dokter yang perlu memeriksa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku teringat dengan amplop Mama yang sempat kuambil tadi. Aku mengambilnya dari sakuku dan mengeluarkan isinya. Sebuah foto. Foto aku ketika masih kecil bersama Mama dan Bapak di sebelahku. Tiba-tiba saja air mata sudah mengalir ke pipiku.
Ma… Mama?
Aku menyalahkan diriku sendiri karena meragukan Mamaku sendiri. Aku benar-benar bodoh.
Setelah hampir satu jam aku menunggu, akhirnya para dokter tadi keluar juga. Kulihat Bunda yang juga ikut keluar bersama mereka. Aku pun segera menghampirinya.
“Bunda? Bagaimana keadaan mama?”
“Hm, duduklah dulu.”, suruh Bunda dengan wajah lemas yang sedikit pucat.
“Bunda? Mama baik-baik aja kan?”
“Olive…”
“Bunda? Ada apa?”
“Olive, mamamu mengidap leukemia stadium akhir dan sudah menjalar di hampir seluruh tubuhnya. Ia.., ia tidak punya banyak waktu lagi. Mamamu bisa pergi kapan saja.”
Apa?
Kali ini aku benar-benar menangis, aku gak menyangka kalau mama mengidap kanker. Bunda memelukku dan ikut menangis.
“Sayang. Maafin Bunda, ya? Bunda tak berusaha cukup keras, Bunda tak bisa mengobati Mamamu.”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya diamlah yang bisa kuungkapkan. Aku bahkan kecewa pada diriku sendiri yang bahkan tidak tahu keadaan Mamanya sendiri.
Beberapa pegawai rumah sakit memindahkan Mama ke ruang perawatan. Bunda menyuruhku untuk menemani Mama diruangannya, aku pun mengiyakannya. Aku memasuki ruangan itu. Bunda memesan ruangan khusus yang bahkan tidak mirip seperti ruang rawat rumah sakit, itu lebih mirip kamar tidur orang-orang kaya.
Aku melihat wajah Mama yang pucat. Aku duduk disebelahnya dan kugenggam tangannya yang lembut. Air mataku kembali membasahi pipiku. Aku menghapusnya, aku tak ingin Mama melihatku sedih. Beberapa menit aku memandangi wajahnya dan kemudian aku melihat matanya mulai terbuka.
“Mama?”, kataku sambil memeluknya.
“Lily? Kita di mana?”, katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Kita di rumah sakit. Ma, Mama kenapa gak memberitahuku kalau Mama sakit? Aku kan bisa merawat Mama…”
“Lily, kalau kamu tahu Mama sakit, kamu tak akan mau menemui orang tua kandungmu. Mama tahu kamu itu keras kepala.”, kata Mama sambil tersenyum.
“Ma, Mama jangan ninggalin Lily, ya. Mama gak pengen apa-apa, asalkan Mama ada di samping Lily, Lily udah puas. Gak apa-apa Lily gak sama orang tua kandungku, asalkan sama Mama Lily bahagia. Mama yang paling berharga bagi Lily..”, kataku sambil mulai berlinang air mata.
“Lily, kamu tahu, kan, kalau waktu Mama gak banyak, jadi dengarkan Mama ya… Lily, walaupun seandainya kamu gak sama orangtua kandungmu, Mama memang sudah mengidap penyakit ini. Jadi, Mama berusaha menemukan mereka, supaya kelak jika Mama sudah pergi ada yang akan merawat dan menyayangimu.”
“Ma..”
“Ingatlah, baik itu Mama atau Bundamu, semuanya berharga. Tak ada yang lebih berharga atau kurang berharga. Apa kamu tahu mengapa Tuhan mengizinkanmu bertemu dengan Bundamu?”
Aku menggelengkan kepala, kemudian Mama melanjutkan, “Itu karena Tuhan memberikanmu kesempatan kedua. Ketika kamu tak punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama Mama, Tuhan memberimu kesempatan kedua supaya kamu memiliki waktu lebih untuk bersama Bundamu. Jadi, cintailah ia seperti kamu mencintai Mama. Agar kamu tidak menyesali hal yang sama dikemudian hari, oke, sayang?”
“Iya, Ma. Ma?”
“Ya?”
“Terima kasih karena telah menjadi pahlawan dalam hidup Lily. Terima kasih karena telah menjadi seorang ibu dalam hidupku. Tanpa Mama, jangankan kesempatan kedua, Lily bahkan tak punya sebuah kesempatan untuk menghabiskan waktu baik itu bersama Mama ataupun Bunda. Terima kasih, Ma..”
“Sama-sama, sayang, Mama minta maaf karena terkadang melukai perasaanmu, ya?”
“Aku sudah lama memaafkannya, Ma. Lily juga minta maaf, ya, Ma, karena tidak cukup menghargai setiap waktu bersama Mama. Lily janji bakal jadi anak yang baik dan menghargai setiap waktu Lily bersama Bunda nanti.”
“Ya, sayang. Mama bangga sama Lily. Tetaplah jadi seperti dirimu yang sekarang.”
“Jadi, apa Mama kakak selamat?”, tanya Clara.
“Tidak, Mama kakak pergi ke tempat yang jauh lebih baik. Ke tempat yang sama dengan Bapak kakak.”
Seketika itu juga Clara menangis. Aku kaget dengan reaksinya yang tiba-tiba ini. Aku pun langsung memeluknya.
“Kak, Clara juga bakal ngehargai setiap waktu bersama Bunda. Clara gak mau kehilangan Bunda.”
“Ya, udah, ayo minta maaf ke Bunda, yok!”, ajakku antusias.
“Ayo, kak!”
Clara segera keluar kamar. Ketika ia melihat Bunda yang sedang duduk di ruang tamu ia segera berlari ke arahnya dan memeluknya erat.
“Bunda, Clara minta maaf, ya, Bunda. Clara janji gak bakal jadi anak yang manja lagi. Clara sayang Bunda. Clara suka kado tasnya, terima kasih ya, Bunda.”
“Iya, sama-sama sayang. Bunda juga sayang Clara.”
Aku pun ikut duduk di sebelah Bunda dan memeluknya. “Olive juga sayaaaaaang banget sama Bunda.”
“Gak! Clara yang lebih sayang sama Bunda.”
“Ih, aku ya yang lebih sayang!!”
“Udah, udah, Bunda sama-sama sayang pada kedua putri Bunda” Bunda pun memeluk kami erat.
Ma, Lily akan menepati janji Lily.
Terima kasih untuk kesempatan yang berharga ini Tuhan.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh chuwy. Diberdayakan oleh Blogger.